Terburu-buru? Dapatkan ringkasan secara detail.
Seiring berkembangnya industri kreatif dan samarnya batasan antara seni murni dan selera pasar, pertarungan antara idealisme dan komersialisme menjadi semakin relevan. Bagaimana seniman tetap setia pada visi mereka saat dihadapkan pada tuntutan tren?
Dua nama yang patut disoroti dalam konteks ini adalah Sanchia Hamidjaja dan Darbotz. Meski datang dari latar belakang berbeda, keduanya memiliki benang merah serupa: sama-sama mengawali karier dari dunia agensi yang kerap diwarnai permintaan—dan revisi—tiada henti dari klien.
Namun, dari pengalaman tersebut justru timbul dorongan kuat untuk berkarya dalam ruang seni tanpa batas. Sanchia adalah seorang seniman visual yang menemukan identitas artistiknya saat menempuh studi Desain Grafis di Australia.
Melalui eksplorasi cat air, ia melahirkan sepasang karakter anjing hitam dan putih yang kemudian menjadi karya debut dalam pameran perdananya The Yin and Yang Dogs (2011).
Kini, ia mengekspansi ekspresi seninya melalui komik Problema Nona sejak 2011 bersama Mar Galo untuk menyuarakan isu gender, menciptakan ilustrasi penuh imajinasi sebagai Direktur Seni HEI Schools, serta merancang cendera mata lewat proyek Winty Pals dan Poi Sepoi.
Darbotz, di sisi lain, adalah seniman urban asal Jakarta yang dikenal lewat karakter monster ikonis hasil eksplorasinya di ruang publik.
Berawal dari kebiasaan menggambar sejak kecil hingga bereksperimen dengan cat semprot di masa SMA, Darbotz menjadikan dinding-dinding kota sebagai kanvas berekspresi.
Karya-karyanya tidak hanya menampilkan kekuatan visual yang khas, tetapi juga mencerminkan dinamika kota, keresahan sosial, dan identitas personal yang terus berkembang.
Berkat kekuatan artistik yang tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga sarat akan makna, kedua seniman ini kerap diajak berkolaborasi dalam proyek komersial bersama berbagai jenama.
Meski demikian, layaknya seniman sejati, mereka mampu menjaga integritas artistiknya—bahkan ketika harus berhadapan dengan industri yang sering kali mengutamakan apa yang “terjual” daripada apa yang “berarti.”
Kepada KINTAKA, Sanchia dan Darbotz berbagi pandangan seputar idealisme yang kerap bersinggungan dengan komersialisme.
Bagaimana Anda mendefinisikan gaya ilustrasi Anda dan perkembangannya dari waktu ke waktu?
Darbotz: Kreasi yang saya kembangkan selalu mencerminkan karakter berani. Di saat baru mulai mencoret-coret tembok jalanan, kebanyakan pemain mural lainnya cenderung menggunakan palet warna-warni. Namun saya justru memilih pendekatan berbeda dengan warna hitam dan putih yang akhirnya menjadi ciri khas Darbotz. Selain itu, garis-garis pada gambar saya pun sering kali tidak lurus. Toh, saya percaya bahwa semua karya tak harus mencapai kesempurnaan
Sanchia: Pendekatan desain saya lebih fleksibel dan terus berubah seiring waktu. Semuanya tergantung peristiwa hidup atau observasi sehari-hari saya, khususnya terhadap kompleksnya kehidupan Jakarta. Selain itu, gaya ilustrasi saya selalu berkembang sesuai medium yang saya eksplorasi.
Mulai dari cat air, tinta India, hingga sablon manual yang kini sedang saya tekuni. Semua tergantung subjek dan amplifikasinya melalui medium tertentu. Mungkin tidak seikonis Darbotz yang konsisten dengan warna hitam dan putih, tetapi di situlah letak kebebasan saya dalam berkarya.
_11zon.jpg&w=3840&q=75)
Bagaimana Anda melihat lanskap seni di Indonesia saat ini?
Sanchia: Menurut saya, skema seni Indonesia sudah terbentuk dengan matang. Realisasinya pun terlihat pada berbagai komunitas yang menaungi para seniman dan pekan seni, seperti JICAF, Art Moments, serta Art Jakarta.
Darbotz: Betul sekali, lanskap seni Indonesia kini jauh lebih semarak dibandingkan dulu. Jika sebelumnya seni dianggap sangat spesifik dan hanya melibatkan segelintir pelaku, kini ekosistemnya tumbuh pesat dan lebih inklusif.
Berbagai disiplin pun sudah memiliki komunitasnya masing-masing—mulai dari ilustrator hingga seniman stiker. Sebagai veteran, saya turut berbahagia menyaksikan transformasi ini, serta munculnya generasi seniman baru
Sanchia: Ya,terutama dengan teknologi yang semakin mendukung evolusi ini. Konsumennya pun menjadi semakin bervariasi. Dulu rasanya saya membuat pameran hanya untuk kalangan sendiri. Saat ini, seni telah berkembang menjadi medium lintas disiplin yang menjangkau berbagai sektor.
Seberapa besar peran komunitas dalam perjalanan dan perkembangan karier seni Anda?
Darbotz: Sebagai salah satu pendiri tembokbomber.com, saya melihat peran komunitas sangat besar dalam perjalanan seni saya. Tembok Bomber dimulai pada tahun 2002 sebagai forum kecil untuk memperkenalkan seni jalanan di Indonesia yang pada saat itu ekosistemnya masih sporadis.
Pada tahun 2005, saat seni jalanan mendapatkan perhatian luas, komunitas kami turut andil dalam menjaga keberlanjutannya. Bagi saya, komunitas menjadi ruang untuk diskusi, regenerasi, dan pertumbuhan.
Sanchia: Saya juga tumbuh bersama komunitas, mulai dari sepeda hingga sepatu roda. Di sana, saya bertemu banyak seniman wanita kreatif, seperti Marisa Sukarna, Sari (The White Shoes & The Couples Company), Liunik, Ykha Amelz, dan Ruth Marbun. Lingkungan yang suportif ini sangat berperan dalam perkembangan seni saya.
Baru-baru ini, saya bergabung dengan Canvas Confluence Collective yang baru saja menggelar pameran sablon di Ashta, sejalan dengan ketertarikan saya terhadap medium tersebut—khususnya sejak dikenalkan oleh JICAF. Di Asia Tenggara, geliat komunitas juga terus tumbuh lewat berbagai festival di Manila, Bangkok, dan Vietnam, membuka peluang kolaborasi lintas negara.
Bagaimana Anda menjaga agar karya tetap relevan di tengah ramainya perkembangan industri?
Darbotz: Dengan berupaya untuk memperluas koneksi dan berteman dengan para seniman muda Indonesia. Saya selalu terbuka pada peluang kolaborasi atau bahkan hanya untuk bertukar pikiran. Penting bagi saya untuk tahu apa yang sedang terjadi di dunia mereka—mulai dari tren hingga fenomena baru.
Pasalnya selain menjadi pelaku, saya juga penikmat seni yang gemar mengoleksi karya kerabat sesama seniman atau nama-nama tersohor di industri yang saya lakoni ini. Berkolaborasi dengan seniman baru atau jenama berspirit muda, kenapa tidak. Saya sadar, agar tetap relevan, kita harus beradaptasi dan terbuka pada perubahan agar tidak tenggelam di permukaan.
Sanchia: Saya pun melihat pentingnya menjaga relevansi lewat koneksi dengan sesama pelaku seni. Tapi bagi saya pribadi, momen kembali ke dunia korporat setelah lebih dari 12 tahun sebagai seniman lepas dan jeda sebagai ibu justru menjadi titik balik.
Di situ saya menemukan kembali ruang aktualisasi dan peluang kolaborasi lintas generasi. Dari sana, muncul perspektif baru yang menyegarkan cara saya berkarya. Bagi saya, menjadi relevan tak hanya soal mengikuti tren, tetapi juga membuka diri pada perubahan ritme hidup dan terus berkembang bersama lingkungan sekitar.
Bagaimana Anda mengintegrasikan ciri khas ke dalam setiap karya untuk klien di masa kini?
Sanchia: Setelah melalui perjalanan karier yang panjang, saya bersyukur kini punya privilese untuk memilih klien yang selaras dengan pendekatan visual saya.
Biasanya saya mengobservasi calon kolaborator terlebih dahulu—mulai dari gaya, hingga prinsip kerja—agar prosesnya lebih mulus dan revisi bisa diminimalkan (tertawa). Dengan begitu, mereka pun terdorong untuk masuk ke dalam visi yang saya bawa.
Darbotz: Menariknya, hampir semua kolaborator datang karena memang mencari gaya khas saya. Bahkan saat mencoba keluar dari gaya tersebut karena ingin bereksplorasi, mereka justru meminta saya kembali ke ciri familier yang biasa saya buat di tembok jalanan.
Proses menjadi cepat karena sudah melekat dalam diri saya. Tentunya kemudahan ini bukan datang tiba-tiba, melainkan hasil dari perjalanan panjang yang saya lewati.
Adakah preferensi tertentu saat mengambil proyek kolaborasi komersial?
Darbotz: Sekarang, saya lebih tertarik berkolaborasi dengan sesuatu yang unik dan di luar kebiasaan. Menggambar di medium lazim, seperti kaos atau tembok sudah tidak terlalu menantang. Jika ada proyek idealis yang tak harus komersial tapi menawarkan pengalaman baru, saya justru lebih bersemangat mengerjakannya.
Salah satu mimpi saya adalah menggambar di badan pesawat besar. Lebih mengagumkan lagi bila pesawat itu membawa misi bermakna, misalnya mengantar atlet Indonesia ke Olimpiade.
Sanchia: Saya memiliki visi yang serupa, meskipun bukan pesawat, melainkan kereta. Saya ingin karakter desain saya menjadi simbol yang sangat besar di suatu negara. Sebagaimana karakter-karakter Sanrio yang begitu dicintai di Jepang. Selain itu, sejak kecil, mimpi saya adalah membangun taman hiburan yang dapat dinikmati siapapun dari berbagai kalangan.
Lantas, kolaborasi apa yang paling berkesan bagi Anda?
Darbotz: Salah satu yang paling berkesan bagi saya adalah dengan jenama sepatu, Compass. Meskipun sudah pernah berkolaborasi dengan jenama sepatu lainnya, proyek ini terasa istimewa karena saya dapat berdiskusi langsung dengan Aji Handoko Purbo, sang pendiri. Bersama, kami memformulasikan ide-ide radikal hingga tiba ke konsep kampanye 360 derajat dan berhasil menjual habis kolaborasi tersebut.
Selain mengkreasikan sepatu, kami juga menciptakan instalasi bola raksasa berkarakter monster khas saya dan menggelindingkannya di ajang Car Free Day, serta memamerkannya di Urban Forest Cipete.
Sanchia: Kolaborasi saya dengan Toko Kopi Tuku sejauh ini adalah yang paling menggugah. Baik dari segi DNA visual maupun pesan yang ingin mereka angkat, yaitu tentang Jakarta dan kawasan Cipete. Saya juga terkesan bahwa Tuku—yang juga bekerja sama dengan Uniqlo dalam proyek ini—berhasil menghadirkan kecintaan terhadap produk lokal dengan cara yang sangat merakyat. Tak heran, mereka mampu menciptakan ikatan emosional yang begitu kuat di seluruh Indonesia.
Jadi, bisakah seorang seniman bertahan idealis di tengah gempuran komersialisme?
Darbotz: Bisa saja, tapi harus siap lapar (tertawa). Bagi saya, bekerja adalah cara untuk membiayai idealisme. Karena seideal apa pun kita, tetap ada kebutuhan yang harus dipenuhi—bahkan untuk membeli alat gambar sekalipun dibutuhkan dana. Karenanya, saya akan tetap mengambil berbagai proyek selama memungkinkan saya untuk terus berkarya dengan cara sendiri.
Sanchia: Selama tetap autentik dan jujur pada diri sendiri—bahwa karya yang dibuat memang keinginan pribadi, bukan ikut-ikutan tren—itulah bentuk idealisme. Saya percaya bahwa karya yang lahir dari kejujuran akan berdampak lebih jauh.