KATA KINTAKA: Siapakah yang Lebih Pintar, Manusia atau Teknologi?

Dipublikasikan

25 April 2025

Penulis

Dwi Lukita

Cerita/Kata Kintaka

Edisi 02

KATA KINTAKA: Siapakah yang Lebih Pintar, Manusia atau Teknologi?

Keseharian kita kian dipenuhi perangkat berpredikat “pintar” yang mengubah dan mendefinisikan gaya hidup kita. Jadi, siapakah yang membentuk siapa?

icon-share

Terburu-buru? Dapatkan ringkasan secara detail.

Rasanya pantas untuk membawa pertanyaan ini ke ranah yang paling filosofis. Mulai dari era filsuf kuno seperti Plato, hingga teoretikus media Marshall McLuhan, banyak yang membahas siklus kehidupan.

Pembahasannya berkisar dari awal mula manusia menciptakan “alat”, hingga evolusinya dalam membentuk, mengubah, dan mendefinisikan gaya hidup kita. Jadi, siapakah yang membentuk siapa?

Sejatinya, inisiasi teknologi selalu berawal dari kegelisahan manusia untuk memajukan atau mempermudah kehidupan.

Tentunya, konteks “mempermudah” ini pun bervariasi, bergantung pada ide dan imajinasi penciptanya. Inovasi yang bertahan akan mengubah sesuatu yang awalnya hanya konsep di kepala seseorang menjadi utopia kolektif tentang cara menjalani hidup.

Lihatlah bagaimana dalam lima tahun terakhir, gaya hidup kita kian dipenuhi perangkat berpredikat “pintar”. Kesadaran akan kesehatan fisik dan mental kian meningkat pasca-pandemi, mendorong berbagai jenama merilis inovasi serupa.

Apple Watch Series 10 Hadir Dengan Fitur Cerdas Yang Dapat Mendesain Ulang Bentuk Wajah Dalam Foto (Dok
Apple Watch Series 10 hadir dengan fitur cerdas yang dapat mendesain ulang bentuk wajah dalam foto (dok. Apple)
DeepSeek AI Sedang Mendaki Tangga Popularitas Dalam Menyaingi Open AI (Dok. Reuters)
Dengan fokus pada pengembangan model bahasa yang lebih efisien, DeepSeek asal Tiongkok menghadirkan alternatif yang kompetitif di industri AI global (dok. Reuters)

Selain kesehatan, ragam fitur serba bisa yang seakan memensiunkan profesi asisten pribadi juga menjadi fokus dari terobosan tanpa batas dari para inovator teknologi.

Tak heran jika segenap individu kini mengandalkan Apple Watch untuk mengukur detak jantung, jumlah langkah harian, hingga kualitas tidur.

Sementara itu, sebagian lainnya sudah terbiasa mengatur jadwal lampu dan penyejuk udara di rumah berkat LG ThinQ Living. Sisanya? Tinggal berbincang dengan Siri atau Google Assistant untuk kebutuhan lainnya.

Fenomena ini mengisyaratkan narasi positif tentang meningkatnya kualitas hidup manusia. Dari segi kesehatan, teknologi pintar membantu kita lebih sadar akan faktor dan aktivitas fundamental yang sebelumnya terabaikan.

Dalam konteks keseharian, gawai pintar dianggap mampu menciptakan hidup yang lebih teratur, nyaman, dan memuaskan.

Melalui Aplikasi LG ThinQ, Pengguna Dapat Mengatur Perangkat Rumah Tangga Lewat Ponsel Pintar—Mulai Dari Kontrol Jarak Jauh, Hingga Pemantauan Energi (Dok LG)
elalui aplikasi LG ThinQ, pengguna dapat mengatur perangkat rumah tangga lewat ponsel pintar—mulai dari kontrol jarak jauh, hingga pemantauan energi (dok. LG)

Puncaknya, kini penggunaan Artificial Intelligence (AI) semakin marak. “Akal imitasi” ini tak sekadar membantu, tetapi juga mampu berperan sebagai apa pun yang dibutuhkan. Baik menjadi rekan kerja dan konsultan bisnis, maupun kamus berjalan bahkan teman curhat.

Kini, Anda bisa dengan mudah meminta ChatGPT menyelesaikan berbagai tugas kerja dasar. Mulai dari menulis dokumen, hingga menciptakan ide konten, semua dilakukan dengan cepat dan efisien.

Bagi sebagian orang, hasil kerja mesin tersebut patut diperhitungkan. Lebih dari itu, beberapa aplikasi berbasis AI kini mampu merekayasa gambar, ilustrasi, suara, dan video. Teknologi ini dikenal dengan istilah deepfake.

Banyak yang memprediksi bahwa AI akan merevolusi kehidupan profesional—bahkan personal—dalam skala besar.

Salah satu tandanya adalah semakin banyak perusahaan yang mengadopsi AI sebagai jargon pemasaran—mirip dengan tren Metaverse beberapa waktu lalu.

Namun, pada titik inilah pertanyaan utama tulisan ini menjadi kian relevan. Ketika kita semakin menggantungkan banyak aspek kehidupan pada teknologi pintar, muncullah sejumlah kegelisahan.

Apakah AI akan menjadi lebih pintar daripada kita? Apakah pekerjaan kita akan sepenuhnya digantikan oleh robot? Meskipun terdengar seperti plot klise film fiksi ilmiah, ketakutan ini mencerminkan bahwa nilai eksistensi manusia mulai dipertanyakan.

Sejumlah media dan jurnal penelitian mulai mengangkat narasi bernada kontra terhadap fenomena teknologi pintar.

Dilansir dari The Wall Street Journal, ketatnya persaingan perangkat pintar justru mendorong sebagian jenama merilis produk dengan fitur yang tidak praktis, tidak penting, bahkan terkesan dipaksakan.

Wacana ini mengantarkan kita ke masalah yang lebih serius, yakni privasi dan keamanan data. Victoria Turk, seorang jurnalis dan penyunting senior di media basis San Fransisco, WIRED, menyampaikan kekhawatirannya di surat kabar The Guardian.

Menurutnya, kita tak perlu percaya mitos bahwa gawai pintar selalu merekam ucapan untuk keperluan iklan.

Sebab, tanpa itu pun, data yang dikumpulkan secara sukarela dari jam tangan pintar dan perangkat rumah sudah cukup bagi pengiklan untuk memahami kebiasaan kita secara detail.

Kembali bicara AI, Anda barangkali sudah sering mendengar bagaimana AI turut memanaskan polemik di berbagai sektor kreatif. Khususnya dalam hal keaslian, hak cipta, dan kekayaan intelektual.

Di sisi lain, penggunaan AI yang berlebihan juga dikhawatirkan melemahkan keterampilan sosial dan mengaburkan konsep identitas.

Memang, hubungan manusia dan teknologi ibarat pelukis di hadapan kanvas kosong.

Kadang mengintimidasi, tetapi ketika waktunya tiba, kita bisa membuat sesuatu yang penuh arti. Perkembangan pesat teknologi akan selalu membawa disrupsi yang tak bisa dihindari.

Oleh karena itu, manusia tidak pernah benar-benar bisa memprediksi perubahan apa lagi yang akan terjadi, atau sejauh mana potensi AI dan gawai pintar ini di masa depan.

Menilik kembali pemikiran filsuf di paragraf pembuka, alangkah penting untuk menyadari bahwa sepintar apa pun teknologi, ia tetap diciptakan sebagai penunjang hidup manusia semata.

Mungkin ini bukan sekadar soal teknologi, melainkan tantangan zaman tentang bagaimana kita memegang kendali dan mengenali diri sendiri. Pada akhirnya, teknologi tidak akan pernah benar-benar ‘lebih pintar’ dari kita.

Meskipun mereka sangat ahli dalam membuat manusia merasa sedikit lebih bodoh. Namun, dengan kehadiran AI yang mampu mengambil alih tugas-tugas sehari-hari, bukankah Anda justru memiliki lebih banyak waktu untuk berefleksi?