Dipublikasikan
04 Desember 2024
Penulis
Erika Tania
Fotografi
Reynaldo Tjandra/DERAI
SOROTAN/SAMPUL
Edisi 01
Naufal Abshar: Satu Dekade Dedikasi Seni
Naufal Abshar berbagi pandangan bijaknya seputar seni kontemporer—aliran artistik yang telah ia arungi selama satu dekade terakhir
Terburu-buru? Dapatkan ringkasan secara detail.
Mengapa karya seni yang tampak sederhana dan mudah direplikasi sering dihargai begitu fantastis? Jika Anda memiliki pertanyaan yang sama, tenang saja Anda tidak sendirian dan ternyata ini bukan pertanyaan khas kaum awam.
Naufal Abshar, pelukis kontemporer asal Indonesia yang telah memamerkan lukisannya di berbagai belahan dunia, juga pernah mempertanyakan hal serupa saat mengunjungi sebuah ekshibisi seni bertaraf internasional beberapa tahun yang lalu. “Kok (karya ini) bisa lulus kurasi di acara sebergengsi ini?” ujarnya penuh rasa penasaran kala itu.
Kini, berbekal pengalaman dan pencapaian sebagai seniman yang telah berkarya selama satu dekade, Naufal berbagi pandangannya dengan bijak. “Saya menyadari bahwa karya seni bukan tentang produk akhirnya, melainkan tentang proses dan konteksnya,” ungkap pria berusia 31 tahun ini.
“Semakin sering Anda mengunjungi galeri, museum, atau pameran, wawasan Anda akan semakin terbuka. Anda akan lebih memahami dan memaklumi bahwa seni sangatlah beragam,” lanjutnya. Sebagai penganut seni kontemporer, Naufal mengakui bahwa aliran ini memiliki kompleksitas tersendiri dalam menyampaikan makna.
“Seni kontemporer merayakan kebebasan tanpa batas dalam berkarya. Para seniman dapat menggabungkan berbagai disiplin dan konteks sekaligus, bahkan menciptakan medium mereka sendiri. Maka tak heran jika sebagian penikmatnya merasa tersesat dan memerlukan waktu lebih lama untuk memaknainya,” jelas Naufal.
“Saya menyadari bahwa karya seni bukan tentang produk akhirnya, melainkan tentang proses dan konteksnya.”
- Naufal Abshar
Kerap terinspirasi oleh isu terkini yang relevan dan familier, karya seni kontemporer terkadang hanya dimaknai sekadar pada permukaannya saja. Ungkapan seperti ‘Ah, ini mah saya juga bisa buat’ sudah tidak asing di telinga para seniman kontemporer. Menariknya, Naufal justru setuju dengan komentar tersebut.
“Tentu saja Anda bisa melakukannya karena Anda sudah melihat karya ini. Namun, apakah Anda bisa menggagasnya lebih dulu?” tanggap pria yang, pada awal kariernya, pernah memperoleh komentar bahwa lukisannya tampak seperti poster hasil desain grafis.
Di era modern dengan informasi yang begitu berlimpah, seniman kontemporer masa kini mengkurasi berbagai referensi dan mengombinasikannya dengan perspektif tak biasa, bahkan benar-benar baru. Hasilnya adalah karya-karya yang menggugah Anda untuk menginterpretasi dan mempertanyakannya. Karena, pada dasarnya, seni bukan tentang apa yang seharusnya Anda lihat, melainkan tentang apa yang Anda temukan ketika melihat lebih dekat. Itulah esensi yang Naufal hadirkan melalui karya-karyanya selama satu dekade terakhir sebuah ruang dialog yang memanjakan mata dan menyentuh jiwa para penikmatnya.
REFERENSI SPESIFIK DI BALIK VISUAL ARTISTIK
Naufal Abshar “Saya menyadari bahwa karya seni bukan tentang produk akhirnya, melainkan tentang proses dan konteksnya.” Kekayaan warna kontras nan harmonis yang membuat setiap karya Naufal begitu memuaskan pandangan, nyatanya bukanlah preferensi baru berdasarkan sebuah tren atau tema tertentu, melainkan referensi sarat makna dari mainan dan karakter favoritnya semasa kecil.
“Saya sangat suka Lego karena warnanya yang sangat khas. Meski terlihat sederhana, sesungguhnya terdapat unsur arsitektur dan mekanis yang kompleks saat memainkannya. Maka tak heran bila Lego menjadi bagian signifikan dalam kultur pop yang kerap menginspirasi kreativitas banyak orang, termasuk saya,” cerita pria penggemar gim komputer ini.
“Sebagai generasi ‘90-an, saya selalu menghabiskan hari Minggu dengan menonton berbagai serial anime di televisi sepanjang pagi hingga siang hari. Selain Doraemon, Shinchan, dan Digimon, karakter-karakter dari film Disney juga begitu melekat di hati saya. Saking terinspirasinya oleh grafis dan konteks dari karakter-karakter tersebut, saya mulai menggambar komik, bahkan membuat permainan di atas kertas bersama teman-teman semasa kecil,” kenang Naufal yang kemudian mengikuti les animasi dan desain grafis untuk kian mengasah kemampuannya.
Beranjak remaja, Naufal beralih ke musik metal sebagaimana kebanyakan pemuda tahun 2000-an yang tengah mencari jati diri. Meski bergabung dalam sebuah grup musik sebagai vokalis, Naufal nyatanya tetap menyalurkan bakat menggambarnya dengan mendesain sampul album untuk diunggah pada platform MySpace hingga poster untuk acara pentas seni di sekolahnya.
Genre metal yang memiliki asosiasi erat dengan lirik kaya kritikan tersebut seolah menjadi cikal bakal dari komentar satir pada karya Naufal kini. “Pada saat itu, saya merasa dibebaskan oleh seni di tengah berbagai peraturan sebagai anak SMA dalam jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat eksak. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di bidang seni,” ungkap Naufal.
DEDIKASI DISIPLIN MENUJU DEBUT
Masa di mana media sosial dan internet belum menyediakan akses informasi sekaya dan semudah sekarang, Naufal melakukan riset mendalam lewat buku, katalog, dan berbagai dokumentasi untuk lebih memahami seni. Merupakan anak dari ayah yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ibu rumah tangga, Naufal ingin meyakinkan kedua orang tuanya dengan rencana kuliah dan karier yang jelas. Selain mempersiapkan presentasi komprehensif seputar latar belakang di balik motivasinya, sejumlah kampus pilihan, dan profil-profil seniman sukses, Naufal juga mengajak kedua orang tuanya ke Selayar Sunaryo.
“Saya memang kenal dengan Arin Dwihartanto Sunaryo anak dari seniman kontemporer tersohor, Sunarya sejak SMA. Saat orang tua saya berbincang langsung dengannya, mereka akhirnya paham dan setuju untuk mendukung saya kuliah di LASALLE College of the Arts, Singapura,” kisah Naufal bangga.
Kedisiplinan dan kegigihan hasil didikan kedua orang tuanya tercermin dari pendekatan Naufal dalam mengakselerasi pengalamannya. Kuliah sambil bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang jasa pemindahan dan penanganan karya seni di Singapura mengantarkan Naufal pada sebuah kesempatan berharga untuk berpartisipasi dalam pameran seni, bahkan sebelum ia lulus kuliah.
“Manajer saya pada waktu itu memiliki galeri bernama Art Porters. Setelah melihat langsung karya-karya saya di studio bersama rekannya, ia pun menawarkan saya untuk berpartisipasi dalam pameran seninya yang akan berlangsung selama tiga hari. Saya beruntung sekali menjadi seniman termuda dalam acara tersebut di antara seniman-seniman lain dari New York, Prancis, dan lainnya yang sudah kaya pengalaman dan terkenal,” tutur Naufal.
Meski sangat mensyukuri momentum yang diperolehnya, Naufal sempat merasa putus asa lantaran hingga hari terakhir penyelenggaraan pameran seni tersebut, belum ada satu pun pengunjung yang membeli karyanya.
“Akhirnya, terdapat pasangan suami-istri dari Afrika Selatan yang tertarik dengan salah satu karya saya. Di saat yang sama, pacar teman saya membeli salah satu lukisan saya. Seolah merasa tersaingi, pasangan Afrika Selatan tersebut juga mengonfirmasi pembeliannya sebagai hadiah untuk anak mereka. Pada saat itu saya merasa senang sekali dapat menunjukkan kepada kedua orang tua bahwa profesi sebagai seniman lebih dari sekadar hobi dan dapat menjadi sumber penghasilan,” cerita Naufal yang secara resmi mengukuhkan momen tersebut sebagai debutnya di dunia seni, tepatnya pada tahun 2014.
KREATIVITAS, KARYA, DAN KOLABORASI
Sepuluh tahun kemudian, Naufal telah berpartisipasi dalam lebih dari 50 pameran bersama ragam seniman dan mengadakan pameran solo di sejumlah negara, seperti Singapura, Taiwan, Amerika Serikat, dan tentu saja Indonesia.
Saat ditanya mengenai ekshibisi favoritnya, Naufal menjawab, “Pameran solo paling memuaskan bagi saya adalah Flash, Pow, Bham! yang diadakan pada akhir tahun 2022 lalu di Jakarta. Pameran tersebut merupakan yang terbesar dari segi jumlah karya dan luas ruangnya.”
Dikurasi oleh kurator independen, Bob Edrian, pameran Flash, Pow, Bham! memang meninggalkan kesan mendalam bagi para penggemar seni ibu kota yang menghadirinya, termasuk sejumlah figur publik dan selebriti.
Lebih dari 30 karya seni 80% di antaranya dibuat Naufal dalam kurun waktu dua tahun menuju acara yang dipamerkan merupakan manifestasi dari observasi sang seniman terhadap perilaku manusia di tengah kewalahan informasi dan koneksi dalam dunia interaktif masa kini.
Melalui pameran tersebut, Naufal turut mengekspresikan kematangannya sebagai seorang seniman dengan fleksibilitas unik dalam menginterpretasikan ragam isu terkini menjadi karya penuh makna dan memanfaatkan berbagai medium untuk presentasi yang semakin dinamis.
Selain lukisan, pameran tersebut juga menampilkan sejumlah instalasi, seperti tumpukan televisi kuno, robot, karpet ular tangga yang bisa dimainkan, lukisan kinetik, hingga sebuah sudut yang dirancang menyerupai studio Naufal ketika berada di New York.
Menengok ke belakang, pelukis kontemporer ini mengaku merasa lebih damai, “Waktu telah menghadiahkan saya pengalaman dan pertemuan dengan banyak figur inspiratif yang mengubah cara pandang saya terhadap kehidupan dan karier. Kini, saya lebih tenang dalam menghadapi keadaan, serta lebih bisa mengatur suasana hati agar lebih cepat menghasilkan karya. Palet warna yang saya gunakan pun cenderung ke arah pastel, tidak lagi terlalu cerah dan meledak-ledak. Secara konteks, karya saya lebih santai dan tidak terlalu kompleks.”
Memang demikian adanya, pernyataan tersebut tercermin dalam evolusi karya seni Naufal dari waktu ke waktu. Mengawali kariernya dengan serial HAHA yang sarat pernyataan, ia mengeksplorasi esensi humor melalui kritikan satir.
Kemudian, seniman asal Bandung ini berkontemplasi tentang waktu dan makna hidup secara filosofis lewat serial Time Progression yang dihiasi tebaran angka-angka di sekeliling kanvas, seolah menandakan waktu yang terus berjalan sebuah tanggapan terhadap pandemi Covid-19.
Kini, Naufal menerapkan pendekatan lebih ringan dengan menggambarkan fragmen kehidupan melalui serial Day-to-Day. Berbicara mengenai karya, fokus Naufal tak hanya terbatas pada ekspresi diri dan peningkatan kesadaran terhadap isu-isu tertentu.
Baginya, kolaborasi sangat penting dalam mengedukasi masyarakat tentang seni untuk menghadirkan dampak jangka panjang terhadap industri ini. Selama kariernya, Naufal telah berkolaborasi dengan berbagai individu dan jenama lintas bidang.
Mulai dari desain sampul album untuk Kunto Aji yang memperoleh penghargaan AMI 2019 untuk Grafis Desan Album Terbaik dan Eric Nam, desain pakaian bersama Erigo, merchandise untuk koleksi perhiasan Mondial, instalasi raksasa untuk Treasury di Art Jakarta Gardens, buku Mengingat Yang Perlu Diingat (2023) bersama Ika Natassa, hingga sesi melukis langsung bersama Susilo Bambang Yudhoyono di acara Creativepreneur 2024.
Kemudian, tentu saja, kolaborasi terbaru dengan KINTAKA berupa karya seni eksklusif yang menghiasi sampul edisi perdana majalah ini. Melalui karya bertajuk The “Kultural” Reader, Naufal mengundang Anda untuk merenungkan persimpangan antara budaya dan pengalaman pribadi, merefleksikan proses penyerapan informasi dari kegiatan membaca.
“Lukisan ini merangkum tindakan membaca sebagai portal ke berbagai dunia dan ide dalam upaya memahami dan terhubung dengan lanskap budaya yang lebih luas, serta bentuk penghargaan terhadap seni dan pentingnya refleksi pribadi dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern,” ungkapnya.
Ketika ditanya mengenai inspirasi di balik karya ini, Naufal menjelaskan, “Saya tergugah oleh kekuatan transformatif membaca dan kebahagiaan dalam tenang yang ditemukan saat meresapi kekayaan ekspresi manusia. Lukisan ini merupakan respon terhadap kewalahan informasi yang melanda saat ini. Berbeda dengan sifat cepat dan sesaat dari konten digital, saya ingin menciptakan sesuatu yang disengaja dan nyata. Seperti merancang sebuah majalah, karya ini melibatkan pilihan-pilihan yang hati-hati dan langkah-langkah yang penuh pemikiran, mengundang audiens untuk memperlambat diri dan benar-benar terlibat.”
Dengan spirit yang serupa, Naufal juga akan merilis buku bertajuk Bham: 24/7 Naufal Abshar yang mengabadikan perjalanan emosional dan intelektual sebagai pelukis kontemporer selama satu dekade terakhir.
Buku yang sudah tersedia untuk praorder di situs resmi Snap Collective penerbit basis Kopenhagen, Denmark ini mengajak pembaca untuk merayakan keindahan dalam momen kehidupan sehari-hari yang selaras dengan serial Day-to-Day terbaru karya Naufal.
Menggabungkan elemen buku seni dan autobiografi, Bham: 24/7 Naufal Abshar memberikan kesempatan kepada pembaca untuk lebih mengenal semesta artistik Naufal Abshar yang sekali lagi tak hanya memanjakan mata, tetapi juga menyentuh jiwa.