Dipublikasikan

04 Desember 2024

Penulis

Kevindra Soemantri

Fotografi

Auryn Gautama/DERAI,
Dok. Kevindra Soemantri

PERSONA/SUDUT PANDANG

Edisi 01

Kevindra Soemantri: Jakarta dan Para Penikmat Kulinernya

Kevindra mengidentifikasi empat tipe penikmat kuliner di Jakarta dengan karakter beragam dan preferensinya masing-masing.

icon

Terburu-buru? Dapatkan ringkasan secara detail.

Pasca Reformasi, tak hanya industri kreatif dan perfilman saja yang mengalami kebangkitan. Fenomena serupa pun terjadi di lanskap restoran ibu kota. Katalis utamanya adalah kepulangan para diaspora yang bersekolah atau bekerja di luar negeri seiring berangsur stabilnya kondisi negara. Mereka hadir dengan perspektif baru tentang dunia kuliner dan ditanggapi dengan umpan balik positif oleh para pemain industri.

Sebelum era 2000-an, dunia restoran Jakarta secara garis besar dibagi menjadi dua. Ialah restoran kelas atas milik hotel bintang lima dan gerai kasual di dalam mal atau lokasi independen. Generasi muda yang baru kembali merantau merasa bahwa kota ini kurang menyenangkan. Dibutuhkan percikan baru untuk mempertahankan antusiasme di industri gaya hidup. Mereka ingin menikmati minuman anggur dan hidangan lezat tanpa harus disajikan di atas meja bertaplak putih, atau menggunakan jas parlente.

Kebutuhan anak muda kelas menengah atas inilah yang mendorong kemunculan nama-nama tersohor di era tersebut. Di antaranya adalah Manna House di Senayan, Prego di Blok M, Cinnabar di Menteng, dan Blowfish di Kuningan. Bola salju bergulir. Paprika di Menteng, Cork & Screw di Wisma Kodel, hingga Loewy turut meramaikan malam-malam para pangeran dan putri Jakarta yang lapar akan hidangan sedap, serta aktualisasi diri di lingkup sosial kelas atas.

Hal ini menandai lahirnya sebuah genre bernama lifestyle dining (kuliner gaya hidup). Ialah konsep di mana kegiatan 'makan-makan' bukan melulu soal mengisi perut, tetapi juga bagian penting dari interaksi sosial dan ekspresi gaya hidup. Konsep ini begitu kuat diasosiasikan dengan identitas Jakarta sebagai kota bisnis dan mercusuar gaya hidup Indonesia. Dengan begitu, konsep yang berakar di Jakarta ini perlahan mulai diadopsi oleh para pemain bisnis di kota-kota besar lain Indonesia. Tentu saja, pembentukannya disesuaikan dengan kesiapan ekosistem—baik dari perilaku, maupun daya beli individu—setiap kota.

Seiring berkembangnya jumlah pencinta kuliner di Jakarta, begitu pula dengan aneka tempat makan yang menghiasi kota ini. Peleburan antara konsep yang semakin variatif saling terkait dengan munculnya perilaku penikmat makanan yang berbeda-beda. Secara garis besar, mereka dikategorikan menjadi empat tipe konsumen.

PENCINTA MAKANAN ASPIRATIF

Tipe konsumen pertama adalah yang saya sebut sebagai pencinta makanan aspiratif. Konsumen dalam kategori ini umumnya adalah kaum berduit baru. Mereka adalah orang-orang yang baru saja mengalami lonjakan finansial dan terpapar pada dunia kuliner bergengsi.

Pencinta makanan aspiratif memiliki cukup uang untuk pergi ke restoran. Tetapi pembeda utama antara mereka dan tipe konsumen lainnya adalah pemahaman tentang kuliner yang masih terbilang dangkal.

Ketertarikan mereka masih terbatas pada dekor menawan, presentasi wah, dan hal permukaan setingkat lainnya yang disuguhkan oleh restoran-restoran ternama tersebut.

Maka dari itu, tipe konsumen ini cenderung tidak loyal dan mudah terdampak oleh tren baru. Umumnya, restoran-restoran di kawasan Senopati dan Pantai Indah Kapuk adalah tempat para kaum berduit baru berkumpul.

Pecinta Makanan Inspiratif
Sebuah lukisan di Museum Fatahillah sarat satir yang menggambarkan tipe pencinta makanan aspiratif (dok. Kevindra Soemantri)
Para Puritan
Kuliner khas Prancis di Pierre Jakarta (dok. Kevindra Soemantri)

PARA PURITAN

Tipe konsumen berikutnya adalah para puritan yang mayoritas sudah berusia mapan. Umumnya, mereka menjabat sebagai pembuat keputusan di suatu perusahaan atau telah memasuki usia pensiun. Mulai dari yang sederhana, hingga yang paling bergengsi, para puritan ini telah menyambangi berbagai jenis restoran.

Generasi muda memandang para puritan sebagai konsumen konvensional. Realitanya, mereka adalah konsumen yang lelah dengan menjamurnya tempat-tempat makan baru. Alhasil, mereka tetap setia dengan cita rasa yang familier dengan lidah mereka. Bukan berarti sedang berhemat.

Sejatinya, para puritan memiliki uang berlimpah. Mereka tetap ingin bergaya, meski tipe makanan yang dinikmati cenderung klasik. Para puritan dapat ditemukan sedang melahap dim sum di restoran Tionghoa kelas Michelin di hotel bintang lima, ataupun sup bawang di restoran Prancis terbaik.

KULTUS KULINER

Ada juga tipe konsumen yang unik dan baru muncul dalam beberapa tahun terakhir. Tipe ini saya sebut sebagai kultus kuliner. Bisa dibilang, mereka memiliki ciri khas yang paling mudah diidentifikasi. Kultus kuliner adalah generasi muda yang senang berkumpul dan melihat restoran sebagai platform suatu komunitas tersendiri.

Jika Anda datang ke sebuah tempat makan dan melihat sekelompok orang yang datang bergaya ‘seragam’ dari kepala sampai kaki dalam satu genre pakaian serupa, kemungkinan Anda sedang berada di salah satu lokasi berkumpul kultus kuliner. Mulai dari komunitas disko, hingga komunitas motor gede.

Mulai dari pekerja kreatif, hingga penganut vegan. Terdapat banyak restoran di Jakarta yang mengakomodasi ragam komunitas tersebut. Tak hanya itu, menu yang ditawarkan pun mencerminkan ideologi dan selera audiens yang dituju. Lebih dari sekadar tempat makan, restoran-restoran ini dikemas sedemikian rupa agar seseorang dapat menjadi bagian dari sebuah pergerakan. Area Kemang dan Blok M merupakan contoh lokasi-lokasi tempat para kultus kuliner berkumpul.

Kultus Kuliner
Amuz Gourmet di kawasan SCBD menawarkan pengalaman bersantap gastronomi yang unik (dok. Kevindra Soemantri)

PENGIKUT FANATIK

Tipe konsumen terakhir adalah pengikut fanatik. Mereka adalah penikmat sekaligus pakar, dengan rentang usia yang cukup luas. Mulai dari 30-an, hingga 60-an. Pengikut fanatik terdiri dari segenap individual yang telah terpapar pada hidangan bercita rasa tinggi. Mereka juga memiliki ketertarikan yang dalam terhadap dunia makan dan minum. Berorientasi pada tren, namun tetap orisinal.

Sebagai fanatik, mereka menikmati makanan dan minuman dari hati. Menyukai makanan kaki lima, namun juga santapan mewah. Umumnya, pengikut fanatik merupakan konsumen yang tak banyak komplain.

Unjuk diri atau pamer dirasa tidak perlu. Namun, bila ditanyakan opini soal hidangan, mereka bisa membedah layaknya dokter spesialis yang sedang menganalisis pasien. Selain itu, mereka memiliki restoran favorit yang tidak lazim dan berbeda dengan selera pasar. Tipe konsumen ini pun tersebar di banyak tempat.

Terkadang mereka dapat ditemukan sedang menyesap segelas Riesling atau Batard-Montrachet di restoran Barat. Kali lainnya, Anda dapat menemukan mereka sedang melahap nasi campur yang tersembunyi di dalam gang di kawasan Glodok.

Setelah mengetahui tipe-tipe konsumen dunia gaya hidup Jakarta, tipe konsumen mana yang Anda rasa paling relevan? Tidak ada yang lebih baik dari yang lainnya. Masing-masing memiliki latar dan ciri khas tersendiri yang justru menjadikan lanskap restoran Jakarta semakin dinamis dan semarak. Selamat makan-makan.

Pengikut Fanatik
Bakmie Aboen di Pasar Baru sudah berdiri selama 62 tahun (dok. Kevindra Soemantri)
advertisement