Dipublikasikan
04 Desember 2024
Penulis
Arinta Wirasto
Fotografi
Michael Madjid / DERAI
PERSONA/KOLEKTOR
Edisi 01
Adityalogy: Jejak Langkah dan Kurasi Sepatu Ketsnya
Menelisik lima pasang koleksi sepatu kets milik Anugrah Aditya, serta serba-serbi di balik pembeliannya.
Terburu-buru? Dapatkan ringkasan secara detail.
Kecintaan Aditya terhadap sepatu dipengaruhi oleh dua hal yang ia cintai: musik dan olahraga. Bermusik baginya bukan hanya soal suara, tetapi juga ekspresi diri. Di atas panggung, ia harus menjaga penampilan tanpa mengorbankan kenyamanan.
Di sisi lain, ia juga mencari sepatu yang nyaman dan modis untuk menunjang aktivitas berolahraga. “Tiada solusi yang lebih mewakili dua hal favorit saya selain sepatu kets,” ujar Aditya.
Saat bertandang ke rumah Aditya, ia mengajak kami ke sebuah ruangan yang didekasikan untuk koleksi sepatunya. Spontan, kami dibuat terpana oleh sejumlah sepatu kets yang terpampang di sebuah rak kaca.
“Bila tidak diperjualbelikan kembali, jumlah koleksi saya bisa mencapai 200 pasang,” ucap Aditya santai. Kami jadi penasaran, sepatu mana yang memulai perjalanan Aditya sebagai kolektor?
Duduk santai di depan etalase sepatunya, Aditya mengajak kami bernapak tilas. Perjalanannya dimulai dari memburu sepatu Adidas NMD yang saat itu didaulat sebagai objek wajib punya. “Begitu berhasil mendapatkan sepatu itu, rasanya ingin memiliki yang lain juga,” ujar musisi pop R&B ini. Dari situlah perjalanannya sebagai kolektor dimulai.
“Sebenarnya cukup banyak usaha yang saya lakukan untuk mendapatkan berbagai sepatu kets.” Demi memiliki karya kolaborasi antara Nike dan RTFKT, Aditya rela bersusah payah mengklaim sebuah NFT terlebih dahulu sebagaimana diwajibkan bagi para pembeli edisi spesial tersebut.
Pria berusia 42 tahun ini juga pernah menyambangi satu per satu gerai ritel di mal-mal Singapura hingga jam operasional berakhir demi mendapatkan Nike Airmax 1 Retro ‘Atmos’.
“Bila dibandingkan dengan kolektor lain, sebenarnya saya masih tergolong pemula karena baru mulai mengoleksi pada tahun 2015,” ujar Aditya dengan rendah hati. Namun, keahliannya dalam berburu sepatu yang menjadi incaran banyak orang membuktikan hal sebaliknya. Lebih dari sekadar membeli, Aditya juga mendalami setiap detail yang berkaitan dengan hobinya.
Kini, Aditya memiliki wawasan luas tentang berbagai jenis sepatu kets, mulai dari yang berbasis performa hingga yang dirancang untuk tampil modis, lengkap dengan sejarah dan sosok-sosok inspiratif di baliknya. Rasa ingin tahunya yang mendalam tak hanya memperkaya pengetahuannya, tetapi juga mendorongnya untuk berbagi cerita dengan khalayak luas.
Lewat akun Instagram @adityalogy, kanal YouTube Adityalogy TV, serta platform Soboyow dan Jakarta Sneaker Day, Aditya mengubah kecintaannya pada sepatu kets menjadi medium untuk menginspirasi dan mengedukasi komunitas. “Objektif saya adalah menyampaikan ulasan sepatu agar audiens dapat mengambil keputusan yang tepat dan tidak merogoh kocek terlalu dalam untuk membelinya,” ungkap Aditya.
Semakin terlibat dan aktif dalam komunitas pencinta sepatu kets, Aditya pun terinspirasi untuk menggagas penyelenggaraan Jakarta Sneaker Day (JSD) yang memberikan akses kepada publik terhadap produk-produk edisi terbatas, sekaligus mendorong terciptanya interaksi yang lebih hidup antara penjual, pembeli, dan komunitas. Selain itu, Aditya juga ingin memperkenalkan para pemain lokal agar lebih dikenal di pasar global.
“Sayangnya banyak yang belum mengetahui bahwa sepatu kets rilisan Adidas dan Nike dengan label ‘Made in Indonesia’ justru menjadi incaran para kolektor di Eropa dan Amerika Serikat karena kualitasnya yang sudah diakui.
Sebagai tuan rumah bagi manufaktur sepatu kets global, saya berharap jenama-jenama lokal dapat segera bersinar di panggung internasional,” ungkap Aditya. Untuk para kolektor baru, Aditya menyarankan agar membangun koleksi secara perlahan. Menurutnya, hal menarik dari koleksi adalah kurasi yang mencerminkan kepribadian pemiliknya.
“Seorang kolektor yang baik harus bisa mempertahankan nilai sepatunya. Jika tidak bisa merawatnya dengan baik, mendingan dijual kembali. Saya sendiri menerapkan sistem rotasi karena jika tidak diperjualbelikan kembali, jumlah koleksi saya bisa mencapai 200 pasang,” tutur Aditya yang kini mempertahankan sekitar 50 sepatu dalam koleksinya, termasuk lima pasang yang paling istimewa baginya berikut ini.
CONVERSE X A-COLD-WALL (2022)
“Kolaborasi ini kerap dijuluki sebagai titisan Converse Chuck 70 yang begitu legendaris, hanya saja dalam wujud sepatu bot. Banyak yang tidak menyangka bahwa Converse dapat menelurkan sepatu berdesain ajaib.
Namun, akhirnya rilisan ini menjadi pelopor sejumlah desain non-konvensional Converse di kemudian hari. Sesuai DNA A-COLD-WALL* (ACW), sepatu ini hadir bersiluet futuristik distopia bak berasal dari tahun 3000-an dengan warna abu- abu yang menjadi favorit saya karena begitu bersahaja.
Koleksi kapsul ini didesain oleh pendiri jenama asal Inggris tersebut, Samuel Ross, yang turut menyatakan keberadaannya lewat ukiran ACW di beberapa sisi sepatu. Saya merasa beruntung saat mendapatkannya lantaran keterbatasan stoknya di Indonesia.
Setelah menyampaikan kekaguman terhadap Samuel Ross dan keinginan untuk memilikinya, tim Converse Indonesia meminta untuk membuat konten tentang sepatu ini sebelum dirilis secara publik.“
EXC – 01 ECLIPSE X ADITYALOGY’S SOBOYOW (2024)
“Koleksi ini bernama Eclipse dan—sesuai namanya—terinspirasi dari gerhana. Manifestasinya terlihat dari tiga pilihan warna yang ditawarkan: serba hitam (gerhana total), serba putih (pasca gerhana), dan hitam abu-abu (gerhana parsial). Kami juga melengkapi sepatu ini dengan elemen reflektif yang akan berkilau saat terkena cahaya.
Soboyow mendorong jauh standar Kanky lewat kolaborasi ini. Sepatu ini telah melalui uji ketahanan sebanyak tujuh kali hingga benar-benar terbukti tangguh. Selain itu, kami juga melakukan proses pengepasan sendiri sampai benar-benar terasa nyaman ketika dikenakan. Dari 2.500 pasang sepatu yang kami produksi secara terbatas, kami sukses menjual sebanyak 2.000 pasang di hari pertama peluncuran.
Menurut saya, sepatu ini memiliki banyak kejutan yang bisa meletakkan Indonesia di peta global. Bagian favorit saya dari sepatu ini adalah tali sepatu yang dapat berputar secara otomatis. Gagasan ini muncul karena saya pribadi bukan penggemar sepatu bertali. Tidak usah ditanya, pasti sepatu ini akan saya pertahankan selamanya.”
NIKE AIR PRESTO MID UTILITY X ACRONYM (2018)
“Sepatu ini adalah cerminan kesukaan saya terhadap desain futuristik. Acronym adalah label asal Inggris yang berfokus pada atribut luar ruangan berteknologi tahan air. Menurut saya sepatu ini adalah salah satu kolaborasi Nike yang ternyaman dikenakan.
Bagian favorit saya adalah ritsleting pembuka dengan logo Acronym yang tersemat memudahkan proses lepas-pasang, sehingga tidak perlu repot saat menggunakannya. ini pula yang membedakan sepatu ini dengan rilisan Air Presto pada umumnya.
Sepatu ini saya dapatkan di tahun 2016, dan sampai sekarang masih terasa nyman digunakan. Sekalipun bagian sol dan ritsleting pembuka sudah mulai melapuk, saya selalu mereparasinya kembali.
Sepertinya saya akan memakai sepatu ini sampai benar-benar sudah tidak bisa berfungsi dan tidak akan menjualnya kembali. Pasalnya, sepatu ini tak akan diproduksi ulang pasca berakhirnya kerja sama Nike dengan Acronym.”
NIKE AIR JORDAN 1 ‘BRED’ (2016)
“Ada cerita menarik di balik sepatu yang dijuluki Bred ini. Karena terlihat memakai sepatu ini di turnamen NBA pada tahun 1985, pemain basket legendaris Michael Jordan dikenakan denda besar. Saat itu, terdapat peraturan bahwa warna sepatu pemain yang tidak senada dengan seragam tim akan dikenakan penalti sebesar $5.000 per pertandingan oleh liga NBA.
Sementara, Michael terus mengenakan Air Jordan yang bertentangan dengan warna seragam Chicago Bulls—timnya saat itu—di sepanjang musim pertandingan. Alhasil, Nike membayar penuh denda tersebut karena ingin terus menunjukkan Air Jordan kepada audiens. Bagian favorit saya adalah material kulit beraksen kerut yang memiliki tekstur distingtif dibandingkan dengan rilisan Jordan masa kini.
Awalnya, saya enggan membeli sepatu ini karena tidak menyukai sepatu basket. Tetapi saya menyesal dan akhirnya membelinya dari Chef Martin Praja. Kini ia yang menyesal telah melepas sepatu ini kepada saya.”
NIKE BLAZER MID x VIRGIL ABLOH (2017)
“Kolaborasi antara Nike dan mendiang Virgil Abloh ini sempat menggemparkan dunia di tahun 2017. Bagaimana tidak? Virgil kerap dijuluki sebagai desainer yang mengubah dunia 180 derajat. Sebagaimana gaya desain dekonstruksi yang diusung dan berdampak besar pada berbagai disiplin kultur. Secara pribadi, banyak alasan mengapa sepatu ini begitu istimewa bagi saya.
Secara pribadi, banyak alasan mengapa sepatu ini begitu istimewa bagi saya. Pertama, terdapat tulisan “AIR” ADITYA di sol sebelah kanan dan “VIRGIL” di sol sebelah kiri yang dibubuhkan oleh sang pendiri Off White. Kedua, momen spesial saat mendapatkan sepatu ini, yaitu kesempatan bertatap muka dan bertukar pikiran dengan beliau.
Bisa dibilang, kiprah saya sebagai pencinta sepatu kets telah dilegalisir oleh Virgil Abloh. Selain menjadi trofi pencapaian, sepatu ini juga membuka jalan kerja sama dengan berbagai jenama. Baik sebagai kreator konten, maupun Jakarta Sneaker Day. Tentu saja sepatu ini adalah memorabilia yang akan saya pertahankan selamanya dan tidak akan saya jual kembali.
Kecuali bila ada seseorang yang juga bernama Aditya dan cukup gila untuk menaksir sepatu ini dengan nominal tak masuk akal.”
DAFTAR IMPIAN
Virgil Abloh Off Converse x Off White dengan gaya transparan berdesain dekonstruktif. Saya sempat ditawarkan sepatu ini namun tidak saya ambil. Akhirnya saya menyesal sampai sekarang.
Air Jordan x Fragment yang harganya tak kunjung merosot (sekitar Rp60 juta-an di pasaran kini). Bagi yang paham saja, sepatu ini merupakan Air Jordan terbaik yang pernah dibuat sepanjang masa.
Nike Yeezy 2 Solar Red, versi orisinal—bukan rilisan Adidas—yang dikenakan oleh Kanye West dan Jay Z saat merilis album Watch the Throne (2011). Saya akan membelinya jika dapat menemukan dari tangan kedua, sekalipun sudah dalam kondisi usang.