Dipublikasikan
04 Desember 2024
Penulis
Givania Diwiya Citta
KARYA/SIKLUS
Edisi 01
Evolusi Gaya Hidup Indonesia dari Era '90-an hingga Kini
Dinamika perubahan tren dalam 30 tahun terakhir yang senantiasa membentuk identitas anggota generasi.
Terburu-buru? Dapatkan ringkasan secara detail.
Gelombang perubahan tren selalu mewarnai pertumbuhan generasi di masing-masing era. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia dalam 30 tahun terakhir. Dinamika transformasi yang terjadi di berbagai sektor gaya hidup turut berkontribusi dalam mencetak identitas anggota generasi.
Dekade ’90-an menandai era eksplorasi bagi generasi muda Indonesia yang dihuni oleh generasi X akhir dan milenial awal. Khususnya dalam mengadopsi pengaruh global selagi tetap berjejak pada tradisi nenek moyang. Faktanya, televisi satelit yang memperkenalkan kultur pop, karya musik dari Barat, hingga jenama mode global mulai berlayar di Indonesia pada dekade itu.
Dengan demikian, generasi muda kala itu menemukan cara baru dalam berekspresi lewat hadirnya gaya street dari Amerika, produk prestisius dari Eropa, serta inovasi teknologi dari Asia atau belahan dunia lainnya. Hal-hal tersebut lantas dikombinasikan dengan kearifan lokal dan dimaknai secara distingtif oleh generasi berikutnya.
Seiring waktu yang terus bergulir, evolusi gaya hidup pun berjalan selaras dengan pergeseran ke era digital. Hasilnya adalah ragam subkultur yang lahir dari asimilasi nilai, ekspresi, dan identitas unik. Tak berhenti di milenium baru (2001-2010), interaksi personal dengan teknologi, mode, dan seni pun berlanjut hingga dekade berikutnya (2011-2020) dan masa kini atau era pasca pandemi.
![Nokia 5110 sempat menjadi ponsel sejuta umat di era ‘90-an (dok. Tracey Nicholls)](/images/articles/kintaka01-karya-evolusi-tren-indonesia/Nokia-5110-sempat-menjadi-ponsel-sejuta-umat-di-era-.jpg)
![Kehadiran Airwalk di Indonesia didukung oleh kemunculan subkultur skate di kalangan anak muda (dok. Sourcing Journal)](/images/articles/kintaka01-karya-evolusi-tren-indonesia/airwalk.jpg)
BABAK AWAL ERA EKSPLORASI
Kehadiran teknologi di Indonesia yang senantiasa menjadi aksesibel bagi para muda-mudi berjasa menginisiasi gejolak awal kultur pop. Begitu pula dengan kehadiran ragam produk teknologi yang berdampak pada evolusi tren dan membuka pintu konektivitas. Di era ’90-an, Indonesia menyambut komputer personal bermerek IBM, Acer, dan Apple yang perlahan menggantikan dokumen-dokumen kertas.
Jangan lupakan fenomena warung internet yang senantiasa dikunjungi untuk mengakses informasi baru (dan berbincang dengan calon kekasih di platform mIRC). Dekade ini juga menandai kehadiran telepon seluler (ponsel) yang selamanya mengubah cara berkomunikasi. Model-model seperti Nokia 5110, Ericsson T10, dan Siemens C45 sempat dijuluki ponsel sejuta umat lantaran variasi di pasaran belum beragam.
Selanjutnya televisi satelit mulai mewarnai layar kaca penduduk Indonesia dengan sejumlah saluran internasional. Masih ingat dengan MTV Asia? Ialah pintu gerbang yang mengekspos generasi muda pada tren seni dan musik global, ikon kultur pop, serta objek mode wajib punya di masanya.
“Saya adalah korban mode era ’90-an,” ujar Astriana Gemiati (42), seorang Asisten Redaktur Pelaksana asal Jakarta. “Bertumbuh besar dengan menyaksikan para model dalam video musik Dewa 19, saya pun ikut menggemari tren mode yang mereka perkenalkan. Mulai dari kalung choker, hingga celana hipster saya terapkan dalam gaya sehari-hari,” kenangnya dalam nostalgia.
Astriana juga sempat menjadi pengikut gaya selancar yang dipopulerkan oleh Billabong dan Ocean Pacific, serta baju siap pakai dari Benetton. “Dulu saya rela mengantre di mal demi mendapatkan rilisan baru dari jenama-jenama tersebut. Tetapi seiring bertambahnya usia dan mengenali jati diri, koleksi saya menjadi lebih terkurasi,” ungkapnya.
Era ini juga menandai kemunculan subkultur skate yang tersegmentasi, namun amat digilai di kalangannya. “Di era ’90-an, jumlah toko skate di Jakarta bisa dihitung jari. Tetapi kelangkaan tersebut justru meningkatkan rasa penasaran saya,” ucap Panji Indra (45), seorang fotografer profesional yang berbasis di Jakarta. “Mulai dari LA Gear, Reebok, dan Airwalk—sang manufaktur sepatu skate—saya akan memburu setiap model anyar yang dirilis,” tuturnya.
Meski begitu, mode adalah hal yang subjektif. Lingkungan sosial memang memengaruhi cara seseorang memaknai tren. Akhirnya, preferensi yang selaras dengan nilai-nilai pribadi adalah kunci kebebasan individu dalam berekspresi. Maya A. Siregar (37), seorang penulis lepas asal Jakarta memiliki interpretasi berbeda tentang arus mode.
Meskipun tidak tumbuh besar mengikuti tren, ia mengakui bahwa sebuah rumah mode memiliki pengaruh besar dalam membentuk identitas pribadinya. “Alexander McQueen selalu menjadi sosok yang saya kagumi dan saya tetap menjadi pengikut setianya hingga sekarang. Kreasinya—yang dengan fasih diteruskan oleh Sarah Burton—merupakan manifestasi sempurna dari gaya androgini yang saya sukai,” ungkap Maya.
BERKEMBANGNYA AUTENTISITAS
Konsumen mencari produk yang resonansi dengan prinsipnya, beriringan dengan pendewasaan dalam mengamati tren. Nilai-nilai yang melampaui komersialisme pun akhirnya mendorong pemain-pemain gaya hidup untuk menerapkan narasi yang autentik.
Seperti cerita Maria Risa (37), Senior Vice President of Brand Marketing di sebuah perusahaan teknologi, yang memandang jam tangan sebagai atribut representatif. “Baik untuk kegiatan sehari-hari maupun acara formal, jam tangan menjadi pernyataan gaya saya,” ujar Maria.
![TAG Heuer merupakan Official Timekeeper bagi ajang Formula 1 pada kurun tahun 1992-2003 (dok. TAG Heuer)](/images/articles/kintaka01-karya-evolusi-tren-indonesia/TAG-Heuer-merupakan-Official-Timekeeper-bagi-ajang-Formula-1-pada-kurun-tahun-1992-2003-dok.jpg)
![Pada masanya, jam tangan Baby-G mendominasi pergelangan tangan muda-mudi Indonesia (dok. Casio)](/images/articles/kintaka01-karya-evolusi-tren-indonesia/Pada-masanya,-jam-tangan-Baby-G-mendominasi-pergelangan-tangan-muda-mudi-Indonesia-dok.jpg)
“Di tahun 2010-an, saya membeli jam tangan impian yang masih saya banggakan sampai sekarang, TAG Heuer Aquaracer. Saya juga memiliki ikatan emosional dengan Cartier yang selalu menyematkan nilai historis pada penawarannya, seperti koleksi Tank yang terinspirasi dari kendaraan tempur di masa Perang Dunia I,” ungkapnya.
Baginya yang tak terlalu menyukai gaya feminin, jam tangan dapat meningkatkan kepercayaan diri secara instan. Ia pun akan mencari jenama horologi yang memancarkan karakternya. “Saya ingat di era ’90-an pernah memiliki jam tangan Baby-G dengan temali velkro yang sangat trendi,” kenang Maria.
Baginya yang tak terlalu menyukai gaya feminin, jam tangan dapat meningkatkan kepercayaan diri secara instan. Ia pun akan mencari jenama horologi yang memancarkan karakternya. “Saya ingat di era ’90-an pernah memiliki jam tangan Baby-G dengan temali velkro yang sangat trendi,” kenang Maria.
Di sisi lain, Wilhelmus Rio (38), Managing Partner di sebuah firma hukum, memaknai jam tangan secara filosofis. “Jam tangan membuat saya menghargai waktu yang tak bisa terulang. Sebagai seorang profesional di bidang jasa, waktu adalah hal krusial yang mendefinisikan identitas saya.”
Meski begitu, ia tak menampik bahwa kampanye trendi yang disuguhkan oleh berbagai rumah horologi juga memberi kesan mendalam baginya. Hal ini memperkuat posisi sebuah jenama dalam daftar favorit jam tangan miliknya. Selain proposisi di luar aspek komersil, Rio menekankan bahwa estetika tetap menjadi pertimbangan utama dalam memilih jam tangan.
“Saya ingat betapa berkesannya menonton Formula 1 yang disponsori TAG Heuer di TV saat remaja. Kini sebagai pegiat tenis, saya dibuat takjub oleh hubungan erat Rolex dengan olahraga tersebut dari masa ke masa.” Lebih dari sekadar penentu waktu, jam tangan merupakan refleksi nilai dan identitas autentik bagi Maya dan Rio.
KEBANGKITAN NORMA ADAPTIF
Mungkin sebagian dari Anda familier dengan frasa ‘berpikir secara global, bertindak secara lokal’. Secara tak sadar, penyerapan tren di Indonesia pun menerapkan pendekatan yang sama. Proses akulturasi budaya global dan lokal lantas terwujud dalam bentuk yang berbeda-beda. Salah satunya adalah melalui festival seni.
Di era 2000-an, pergelaran berformat festival mulai diperkenalkan dengan fokus yang berbeda-beda. Sontak, festival menjadi wadah peleburan antar budaya, serta lintas industri gaya hidup. Generasi muda pun berbondong-bondong mendatangi festival yang marak digelar sebagai wujud ekspresi diri dan ajang bersosialisasi.
Galuh Larasati (32), yang tumbuh besar di Bali, mengenang festival-festival seperti Soundrenaline 2005 dan Ubud Writers and Readers Festival 2009 yang pernah disambanginya. “Acara-acara ini berjasa mencetak tren yang bermakna sekaligus membekali saya dengan wawasan mendalam tentang berbagai hal baru,” ungkap Galuh yang berprofesi sebagai Project Coordinator di perusahaan swasta.
Zakki Wirasenjaya (32), suami Galuh yang bekerja di bidang logistik, menimpali perkataan istrinya, “Di era 2010-an, Synchronize Fest dan Java Jazz Festival menampilkan kolaborasi unik antar musisi yang belum pernah ada. Pengalaman saya menikmati musik pun semakin mengesankan.”
Lanskap global dapat memperkaya perspektif lokal, begitu pula sebaliknya. Kolaborasi antara seniman lintas budaya juga menjadi pemercik kreativitas bagi para pelaku dan penikmatnya. Seperti tren piringan hitam yang bangkit di era 2010-an dan kian merekah kala pandemi COVID-19.
“Setelah mendengarkan lagu dari piringan hitam dengan sistem stereo yang baik, saya merasakan sensasi yang berbeda dari pemutar-pemutar musik lainnya,” ujar Zakki yang bersama Galuh mengoleksi piringan hitam dan poster seni sejak tahun 2021.
“Saat menghadiri Record Store Day di Bali, kami bertemu dengan seseorang yang menjual koleksi mendiang ayahnya. Akhirnya berhasil mendapatkan cetakan pertama dari album yang amat kami gemari. Nilai historis seperti inilah yang mendorong kami untuk berburu piringan hitam ke berbagai kota dan melengkapi koleksi,” ungkap Galuh.
“Belakangan ini, sudah banyak album musik dari era sebelum ’90-an yang mulai dicetak ulang karena banyak kalangan muda yang antusias terhadap musik-musik lawas,” pungkas Zakki.
MENUJU PUNCAK DIGITALISASI
Kini kita tinggal di era yang dihuni oleh masyarakat lintas generasi dengan karakter bertolak belakang. Gen Z mulai memasuki rimba kerja profesional. Kehadiran mereka pun memberi energi baru bagi seluruh disiplin gaya hidup. Nilai-nilai yang diwariskan kepada Gen Z, bersama dengan sejumlah inovasi produk, kemudian membentuk tren perilaku baru di lanskap gaya hidup Indonesia.
Jika dulu berperan sebagai penunjang eksplorasi hobi semata, kini teknologi telah menjadi bagian vital dari kehidupan. Mulai dari transaksi digital, hingga rapat virtual, transformasi ini menekankan gagasan bahwa kita memiliki pilihan dalam menjalani hidup.
“Hadirnya inovasi-inovasi baru menjawab kebutuhan masyarakat dan mengubah kebiasaan dalam mengonsumsi konten dan produk gaya hidup,” ujar Lukman Siregar (32), Senior Brand Analytics Specialist yang antusias mengamati evolusi teknologi di Indonesia. Lebih dari sekadar fungsi, teknologi merepresentasikan cara berekspresi dan interaksi dengan dunia. Dari profil digital yang terkurasi di media sosial, ponsel pintar yang menjadi perpanjangan diri, hingga layanan hiburan dengan algoritma sesuai minat pribadi.
Budaya mengedepankan diri sendiri semakin memiliki makna saat dunia diharuskan untuk berhenti sejenak kala pandemi COVID-19 merebak. Karenanya, lahirlah transisi budaya di mana masyarakat menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Tentu saja tanpa menanggalkan segala tawaran yang ada di dunia metamodernisme.
“Para jenama dan konsumen semakin sadar bahwa industri mode menyumbang polusi lingkungan yang besar. Dalam lanskap mode Indonesia, tercipta ragam inisiatif dalam menciptakan konsep keberlanjutan. Misalnya Sejauh Mata Memandang yang menggunakan material daur ulang atau JENAHARA yang mengkreasikan sabuk dari limbah plastik,” ujar Panji.
Di sisi lain, terjadi peningkatan kreativitas dalam berkarya di kalangan jenama lokal dengan maraknya kolaborasi. “Kolaborasi antar desainer, seperti STUDIOMORAL dengan ANW atau Hi Jack Sandals dengan House of Jealouxy di era 2020-an menyuguhkan sinergi autentik yang sangat digemari oleh Gen Z,” tambah Astriana.
Di ranah horologi, tren jam tangan pintar yang menyoroti fitur kesehatan personal memperoleh momentumnya. “Dengan diperkenalkannya jam tangan pintar oleh jenama besar seperti Apple, konsumen diberi kesempatan dan kemudahan untuk menjangkau gawai canggih yang mendukung aktivitas olahraga dan wellness,” ujar Maria.
Lebih dari sekadar kemampuannya untuk mencatat jumlah langkah, detak jantung, dan level stres, jam tangan pintar menjadi populer berkat personalisasi yang ditawarkannya. Tak hanya Apple Watch saja, teknologi juga menjembatani ragam produk dan jasa gaya hidup dalam menerapkan pendekatan yang lebih personal, sehingga semakin relevan bagi para penggunanya.
“Ingat bagaimana grafik permainan di era ’90-an dan 2000-an pada Intel Processor masih berbentuk 2D berpiksel? Tren ini lalu berkembang menjadi visual yang hampir menyerupai kenyataan berkat inovasi kartu grafis Nvidia. Kini inovasi teknologi memungkinkan pengalaman seperti dalam film Ready Player One (2018) di mana kita bisa bersatu dengan teknologi lewat realitas virtual (VR). Salah satu contohnya adalah platform Unity yang digunakan dalam arsitektur dan desain interior. Para profesional dapat ‘menceburkan diri’ ke dalam rancang bangun yang dibuat secara tiga dimensi,” ujar Lukman.
Seperti prinsip teknologi yang mengubah angan menjadi kenyataan, kematangan kita dalam mengarungi lanskap gaya hidup akan membentuk generasi selanjutnya dalam memaknai dunia yang mereka hadapi. Setidaknya, marilah berbangga hati bahwa evolusi tren gaya hidup yang telah vibran dialami sejak tahun ‘90-an hingga sekarang, membuktikan bahwa Indonesia tidak kenal takut untuk menyambut inovasi dan beradaptasi dengan segala kemungkinan tak terbatas dari hari esok.
![Unity menjadi andalan arsitek dan desainer interior masa kini dalam membuat rancangan desain 3 dimensi (dok. Unity)](/images/articles/kintaka01-karya-evolusi-tren-indonesia/unity.jpg)
1995
“Iklan televisi Levi’s Mr Bombastic sangat berkesan bagi remaja yang relevan dengan kisahnya. Bahkan, musiknya saja masih terngiang dalam memori saya. Sungguh sebuah tren pada masanya!” – Astriana Gemiati
1998
“Windows 98 secara harfiah adalah jendela yang membuka mata saya terhadap peluang tak terbatas yang disuguhkan teknologi. Mulai dari platform hiburan sekaligus pencarian informasi. Cukup membuat anak usia enam tahun (ehm, saya) terkesima dan bertumbuh besar dengan gairah terhadap teknologi.” – Lukman Siregar
2008
“Pensi (baca: pentas seni) yang diadakan oleh SMA di kota-kota besar Indonesia adalah titik kumpul anak muda pada masanya sebelum kehadiran festival musik berskala masif. Saya rajin hadir untuk menyaksikan karya seni musik lokal yang sedang tren.” – Zakki Wirasenjaya
2011
“Sejak didirikan, kampanye IKYK selalu menarik perhatian saya berkat tampilannya yang modern. Menurut saya, kreasi IKYK paling menonjol di kalangan jenama mode lokal” – Maya A. Siregar
2017
“TUDOR menggandeng David Beckham sebagai ambasador global untuk mengawal inisiasi Born to Dare. Bagi saya, tampilan bersahaja dari iterasi yang diluncurkan sangat keren pada masanya.” – Wilhelmus Rio
2020
“Selama pandemi, saya terpapar tren teknologi untuk membuat gim komputer sendiri. Dan saya menjajalnya dengan program Unity. Meski hanya dikonsumsi untuk hiburan pribadi, namun saya merasa bahwa teknologi memercik kreativitas saya yang belum tersalurkan.” – Lukman Siregar
2022
“Saya terkesan dengan Swatch HOW MAJESTIC yang dirilis sebagai penghormatan bagi Ratu Elizabeth II atas perayaan 70 tahun titahnya di Kerajaan Britania Raya. Sangat ikonis.” – Maria Risa
2024
“Tren membuat kamera obscura mulai muncul di era 2020-an. Namun, saya telah mengalaminya sejak akhir era ’90-an berkat mendiang paman yang mengajari saya untuk menciptakannya dengan kaleng kosong. Hasil dari gambar hitam putih lantas menjadi debut pertama saya dalam sebuah majalah yang terbit di Jepang saat itu.” – Galuh Larasati