Dipublikasikan

04 Desember 2024

Penulis

Arinta Wirasto

Fotografi

Dok. Natasha Tontey dan Audemars Piguet Contemporary

Videografi

Aditya Wiradimadja

CERITA/JURNAL

Edisi 01

Audemars Piguet Contemporary: Interpretasi Radikal Natasha Tontey Seputar Primata

Menelusuri semesta fiksi karya Natasha Tontey tentang primata, yang diperkaya dengan sentuhan budaya Minahasa.

icon

Terburu-buru? Dapatkan ringkasan secara detail.

Terdapat rasa penasaran dan antusiasme yang memuncak saat saya dan jajaran jurnalis lain memasuki ekshibisi tunggal terbesar dari perupa Natasha Tontey yang berjudul Primate Visions: Macaque Macabre atau Larik Sungsang Kaum Primata untuk pertama kalinya. Pasalnya, seluruh karya dalam pameran merupakan komisi untuk Audemars Piguet Contemporary yang menandai kali pertama program ini menggandeng seniman Indonesia. Meskipun sudah menerima undangan melalui surel untuk menghadiri pembukaan pameran, tetap saja, kami tidak tahu apa yang harus diharapkan.

Bertempat di Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN), kami digiring menuju pojok tempat konferensi pers berlangsung. Selama perjalanan menuju ke sana, kami melewati seluruh instalasi yang dipamerkan tanpa mengetahui narasi di baliknya. Di depan kami, sang perupa Natasha Tontey sudah menunggu, didampingi oleh Venus Lau selaku Direktur Museum MACAN, dan Denis Pernet, kurator dari Audemars Piguet Contemporary. Bertindak sebagai moderator adalah Kepala Divisi Komunikasi, Margie Untoro. Saat mereka duduk dan acara dimulai, kami pun siap menggali lebih dalam.

Menghadirkan pengalaman mendalam, Natasha Tontey mengundang penonton berinteraksi dengan objek absurd yang disesuaikan dengan narasi dalam film yang ditayangkan
Menghadirkan pengalaman mendalam, Natasha Tontey mengundang penonton berinteraksi dengan objek absurd yang disesuaikan dengan narasi dalam film yang ditayangkan

Selain mengupas tuntas tema besar ekshibisi, diskusi tersebut mengangkat topik yang tak kalah penting, yaitu kebutuhan seniman akan ruang—baik secara harfiah, maupun figuratif—yang dapat sepenuhnya mendukung kreativitas mereka. Pasalnya, seniman bukan hanya pencipta karya, tetapi juga pembangun narasi yang menyuguhkan perspektif baru. Tanpa wadah yang tepat, suatu ide brilian bisa terkubur begitu saja dalam pikiran.

Inilah landasan Audemars Piguet Contemporary saat menginisiasikan program khusus untuk mendukung para seniman berskala global. Divisi seni milik jenama horologi yang mengemban status trinitas horologi ini telah mengomisikan karya dari seniman terpilih. Sejak didirikan pada tahun 2012, Audemars Piguet Contemporary telah mengomisikan karya dari 20 perupa dan menjadi kurator bagi 57 ekshibisi berisikan karya komisi seniman.

Melebarkan sayap ke Asia Tenggara, Denis Pernet bangga dapat merealisasikan konsep visioner Natasha. “Di Audemars Piguet, kami percaya bahwa kreativitas membantu kita melihat diri kita dan dunia dengan cara yang berbeda dan kami sangat menantikan untuk membagikan instalasi unik karya Natasha.”

KOMPLEKSITAS ANTAR MAKHLUK

Saat pertama kali melihat Natasha, saya terpana akan penampilannya yang unik, dengan sepatu bot tinggi bergaya retro. Begitu pula dengan persepsi terhadap dunia yang diterjemahkan oleh perupa asal Minahasa tersebut ke dalam Primate Visions: Macaque Macabre. Praktik artistik Natasha sering menggali konsep ketakutan buatan—bagaimana perasaan ini bisa terbentuk dari berbagai faktor. Contohnya terdapat pada dua karya seni bertemakan fiksi spekulatif yang dikreasikan Natasha terdahulu, Other Tomorrows Never Known (2023) dan The Order of Autophagia (2021).

Kini lewat Primate Visions: Macaque Macabre, perupa kelahiran tahun 1989 ini kembali menyoroti ilmu primata melalui sebuah semesta fiksi. Karya Natasha mencerminkan simbiosis yang kompleks antara yaki (makaka hitam Sulawesi) dengan masyarakat adat Minahasa. Dalam 40 tahun terakhir, populasi yaki menurun hingga 80%, menjadikannya salah satu primata paling terancam punah di dunia.

“Sejarah hubungan antara keduanya menunjukkan bahwa manusia tidak selalu lebih superior dibandingkan Yaki. Meski berkontribusi pada keanekaragaman hayati hutan, yaki dianggap hama oleh manusia seiring meningkatnya deforestasi,” papar Natasha tentang kompleksitas yang ia maksud. “Meski terlihat seperti musuh, kedua spesies ini sebenarnya saling membutuhkan,” lanjutnya.

Natasha menggabungkan estetika video gim, video musik, fiksi fantasi, dan produksi swakriya untuk menghubungkan budaya mistik masyarakat adat dengan gaya futuristik generasi muda
Natasha menggabungkan estetika video gim, video musik, fiksi fantasi, dan produksi swakriya untuk menghubungkan budaya mistik masyarakat adat dengan gaya futuristik generasi muda

Pertemuan pertama Natasha dengan primata tersebut dapat ditelusuri saat ia menghadiri sebuah ritual adat Minahasa bernama Mawolay dan melihat tengkorak yaki dihidangkan di tengah meja. Selanjutnya, ritual yang menyoroti kompleksitas hubungan antara yaki juga memercik keingintahuan Natasha lebih dalam.

Natasha juga mengambil acuan dari Donna Haraway, sarjana terkemuka dalam studi sains dan teknologi, yang memaparkan bahwa primatologi adalah wujud narasi. “Saya ingin menonjolkan solidaritas antara manusia dan makhluk non-manusia lewat pendekatan fiksi. Meski terlihat seperti musuh, kedua spesies tersebut sebenarnya saling membutuhkan,” tuturnya.

Namun di balik seluruh paradoks tentang yaki dan manusia, Natasha justru menemukan ruang untuk mengeksplorasi bagaimana hubungan ini dapat ditafsirkan ulang. Melalui Primate Visions: Macaque Macabre, ia menawarkan perspektif baru yang mengaburkan batas antara fiksi dan realita, sekaligus mengundang audiens untuk merenungkan kembali interaksi manusia dengan makhluk non-manusia.

EKSPLORASI TEMATIK

Natasha menuturkan bahwa kecenderungan menerapkan konsep imajinatif dalam sejumlah karyanya muncul karena pendekatan tersebut menawarkan cara baru berinteraksi dengan dunia. “Saya sangat tertarik pada konsep fiksi. Ialah ruang imajinatif di mana saya memiliki otonomi untuk menciptakan sistem dan struktur sosial,” ucap Natasha.

Bukan tanpa tantangan, Natasha sempat khawatir karya-karyanya tak dipahami oleh audiens karena cakupan maknanya yang luas. Bagaimana tidak? Karya Natasha menggabungkan fantasi dengan isu-isu dunia sekaligus. Dalam konteks ini, kepunahan spesies dan warisan yang terancam hilang.

Bila tidak hadir pada konferensi persnya terlebih dahulu, mungkin saya juga tidak bisa menerjemahkan setiap karyanya. Namun sebagaimana karya seni pada umumnya, karya Natasha pun terbuka pada interpretasi. Jika Anda ingin mendapat gambaran menyeluruh sebelum menelisik arti dari setiap instalasi, saya menyarankan untuk memulai dari sebuah layar besar di tengah ruang ekshibisi yang menjadi sorotan utama.

Minat Natasha pada hubungan manusia-nonmanusia berawal dari karya seni Pest to Power (2019) yang ia ciptakan untuk menantang perspektif konvensional manusia tentang kecoa
Minat Natasha pada hubungan manusia-nonmanusia berawal dari karya seni Pest to Power (2019) yang ia ciptakan untuk menantang perspektif konvensional manusia tentang kecoa

Natasha menampilkan film berdurasi sekitar 40 menit yang mengisahkan hubungan kontradiktif antara dua spesies. Film ini menceritakan peran yaki—bergender betina—dan manusia yang terbalik dengan percikan elemen ekofeminisme. “Dalam karya ini, saya menggunakan aktor pria Minahasa untuk memerankan Yaki, sementara aktor wanita menggambarkan manusia, mengembalikan keseimbangan dalam dunia yang semakin terputus dari alam.”

Terdapat juga sejumlah karakter yaki yang digarap dengan referensi mode global yang menjadi kiblat penduduk Minahasa. Instalasi ini dikreasikan menggunakan kain katun, rotan, rambut, dan bulu sintetis, dakron, cat akrilik, dan lain-lain. Tetapi, hal yang paling menarik atensi saya adalah nama dari setiap karakter: Madame Chaffeur, Xenomorphia, Imago Organella, dan Yaki Number 1. Rasanya terdengar berkelas dan memikat.

Seusai ekshibisi tersebut, saya seolah mendapatkan pencerahan tentang hubungan antar spesies dan ingin menuangkannya dalam sebuah karya. Apakah terlambat untuk memulai karier untuk menjadi perupa? Natasha menutup diskusi kami dengan saran bagi seniman-seniman muda yang tengah menavigasi karier di bidang kreatif. “Tantang norma yang ada. Tetaplah berjejak dengan kehidupan di sekitar dan gunakan seni untuk mendisrupsi sistem sosial. Ubah ruang sehari-hari menjadi dunia yang penuh imajinasi.” pungkasnya.

Instalasi-instalasi pada Primate Visions: Macaque Macabre dirancang untuk menantang persepsi audiens tentang keindahan, kepalsuan, dan cerita yang disampaikan
Instalasi-instalasi pada Primate Visions: Macaque Macabre dirancang untuk menantang persepsi audiens tentang keindahan, kepalsuan, dan cerita yang disampaikan
Instalasi-instalasi pada Primate Visions: Macaque Macabre dirancang untuk menantang persepsi audiens tentang keindahan, kepalsuan, dan cerita yang disampaikan
Instalasi-instalasi pada Primate Visions: Macaque Macabre dirancang untuk menantang persepsi audiens tentang keindahan, kepalsuan, dan cerita yang disampaikan
advertisement